Simsalabim Obral Jabatan Pemprov Banten

Oleh: Dadang Handayani

Hampir semua nasib karir Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam meniti karir selalu ditentukan dengan cara politis. Dengan kata lain, siapa yang pandai menjilat, memiliki hubungan dengan tim pemenangan, kedekatan kekuasaan, nah itu sudah dapat dipastikan karirnya bakal moncer tanpa harus mengikuti jenjang penilaian berdasarkan semangat dari lahirnya UU ASN. Kalau sudah begitu, tentu saja sejumlah spekulasi muncul tentang kinerja si pegawai itu.  

PELANTIKAN promosi jabatan merupakan hal yang dinanti oleh para ASN yang dinyatakan sudah memenuhi kriteria, baik pangkat, golongan, masa kerja maupun berdasarkan peniliaian kinerja oleh badan pengawas yang sudah memenuhi peryaratan tadi. Pengisian jabatan selain untuk menempati jabatan kosong, salah satunya karena kebutuhan penyegaran. Namun dalam prosesnya promosi jabatan ini masih saja banyak meninggalkan cerita dibelakangnya.

Begitupun dalam pelantikan dilingkup Pemprov Banten belum lama ini. Sebanyak 84 pejabat administratif  dilantik pada 28 Desember 2020 tanpa kriteria yang jelas. Sepuluh hari berselang, tak tanggung-tanggung kembali Pemrov Banten melakukan pelantikan sebanyak 316 pegawai pada Kamis 7 Januari 2021 dengan cara simsalabim alias di obral. Agenda pelantikan virtual dapat dilihat dari skema nama-nama yang diakses dalam hitungan menit.

Acara pelantikan yang dilakukan secara virtual dan dilakukan pengambilan sumpah jabatan secara simbolis Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy menyebutkan, pengisian jabatan pegawai tingkat eselon IV untuk memacu kinerja OPD sesuai yang ditargetkan RPJMD Provinsi Banten. Setelah mengetahui daftar nama-nama yang dilantik, tentu saja publik banyak dikejutkan dengan orang-orang yang masuk dalam pelantikan tersebut, belum lagi ada sejumlah pegawai yang namanya sudah masuk tapi dalam hitungan detik bisa hilang.

Berbagai spekulasi dan kritikan pedas datang dari berbagai elemen terkait kriteria penempatan pengisian jabatan tersebut. Ada yang menyebutkan pelantikan itu transaksional bukan karena berdasarkan syarat dan kriteria sesuai track record dari si-pegawai sesuai pangkat, golongan, masa kerja dan prestasi. Karena regulasi ASN sesungguhnya dapat di akses dari OPD berasal dan pertimbangan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Isu transaksional itu begitu mencuat meski secara hukum sepertinya sulit dibuktikan, akan tetapi dari cerita ke cerita barang itu ada.

Dari beberapa catatan media lokal, isu tentang transaksional itu dikonfirmasi kepada Kepala BKD Provinsi Banten Komarudin. Sayangnya itu tidak dapat ditanggapi, jangankan soal isu liar terkait itu, untuk memberikan data tentang nama-nama 316 ASN yang dilantikpun tidak diberikan. Tertutupnya keran informasi itu semakin menambah kecurigaan berbagai pihak dan anehnya menurut Komarudin, data nama-nama pejabat yang dirotasi dan dipromosikan bukan untuk dipublish. Secara diplomatis Komarudin mengelak katanya secara aturan, tidak ada yang menyebutkan kewajiban BKD mengeluarkan data nama yang telah dilantik.

Regulasi tentang penilaian kinerja ASN diatur dalam PP 30 Tahun 2019 yang nyatanya dalam pengisian jabatan hampir tidak pernah dijadikan rujukan. Kewenangan Badan Pertimbangan jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) meski sudah tidak populis digunakan, kewenangan yang diberikan oleh PP Nomor 13 Tahun 2002 tentang pengangkatan ASN pada jabatan struktural, seharusnya peran Baperjakat merupakan pihak yang berperan aktif dalam pengangkatan atau pemberian promosi ASN yang diangkat dalam jabatan struktural, ini untuk terjaminnya kualitas ASN dengan pertimbangan yang objektif dan jauh dari interpensi dari pihak manapun agar ASN yang akan dipromosikan pada jabatan struktural benar-benar teruji kualitasnya.

Berdasarkan PP Nomor 13 tahun 2002, pada jabatan struktural setidaknya yang menjadi syarat mutlak seorang ASN yang akan diangkat dalam jabatan struktural harus terpenuhi, akan tetapi kepala Pemerintahan selaku pembina kepegawaian memiliki hak prerogatif dalam mengambil keputusan, sedangkan Baperjakat hanya sebatas administrasi dalam memberi masukan kepada kepala daerah selaku pembina kepegawaian.

Alhasil, kurang kompetennya pejabat yang dipromosikan atau adanya persyaratan yang belum terpenuhi, semisal tingkat pendidikan yang diperlukan pada OPD teknis atau kompetensi jabatan yang diperlukan tidak sesuai harapan. Sebelum terbitnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN, pengangkatan ASN ke dalam jabatan struktural diatur dengan PP Nomor 100 Tahun 2000 jo PP 13 Tahun 2002.

Kompetensi dan kinerja pegawai secara langsung yang dapat menilai tentu atasannya langsung selain BKD yang secara de facto data semua ASN baik pangkat, golongan dan bertugas di OPD mana tercatat dan ter-arsipkan. Dengan kata lain, BKD seharusnya dapat meng-inventarisir data pegawai yang sudah layak untuk diberikan promosi jabatan dengan mengacu kepada data pegawai yang sudah lama baik dari sisi pangkat maupun golongan tentu dengan catatan ASN yang memiliki kinerja bagus berdasarkan penilaian obyektif.

Celakanya, jika indikator penilaian tidak lagi berdasarkan senioritas yang dahulu dengan istilah Pangkat, Jabatan, Masa Kerja, Pengalaman, Pendidikan dan Usia (PAJAMALAPU), saat ini berdasarkan evaluasi kompetensi teknis, kompetensi manajerial dan kompetensi sosial kultural yang ukurannya diambil dari kedekatan dengan penguasa dan timnya, oknum pejabat yang cawe-cawe maka selesailah para ASN yang memiliki dedikasi dan kinerja yang bagus jika promosi pengangkatan jabatan masih menggunakan metode seperti itu.

Melihat dari pelantikan pejabat di Pemprov Banten yang secara kasat mata seperti dagangan di obral, miris rasanya. Bayangkan, dari beberapa catatan yang diperoleh ASN yang diangkat dari angkatan pertama tahun 2000 dan 2001 yang sudah golongan IVa maupun IIId masih menjadi staf meski memiliki kinerja bagus. Sedangakan ASN yang pengangkatannya tahun 2011-2012 melenggang mulus tanpa beban, persoalan dia bisa kerja apa tidak, aaahhh tentu itu soal lain.

Melihat fenomena itu apakah publik tidak boleh kritis? Tentu saja itu menjadi tanggungjawab kita bersama, Banten bukan hanya milik kelompok yang kini berkuasa. Banten punya kita bersama dan wajib dijaga termasuk segala kebijakan gubernur. Jika kepala BKD tidak terbuka memberikan data pegawai, maka hak publik berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik di bolehkan untuk memperolehnya. Jika tidak, maka selayaknya sebagai warga negara yang taat azas dapat menggugat melalui Pengadilan TUN.

Meski penempatan pejabat merupakan hak prerogatif gubernur, setidaknya jika prosesnya baik  pasti akan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang ideal sesuai harapan. Namun banding terbalik, jika hanya melihat dari sisi siapa yang bawa, anak siapa dan seterusnya maka akan menuai kekecewaan pegawai yang hanya bisa bekerja tanpa pamrih yang dituntut loyal tapi nasib, karir dan masa depannya dihabiskan oleh para penjilat, semoga ke depan ini tidak terjadi lagi dan menjadi catatan kelam dimasa pemerintahan gubernur Wahidin-Andika.   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *